Hanya satu keinginanku saat ini. Aku ingin semuanya kembali seperti biasa. Aku ingin orang tua ku berbaikan kembali. Aku frustasi melihat mereka seperti ini. Ayah yang dingin namun menyimpan panasnya amarah. Ibu yang biasanya hangat kini terluka.
Tidak ada yang bisa kulakukan selain berharap yang terbaik. Aku ingin bersikap cuek, tapi aku tahu perasaan itu tidak bisa bertahan lama. Ada sesuatu yang mengiris-ngiris hatiku, mengingatkanku kalau masih ada yang bisa kulakukan.
Mataku tidak bisa kututup begitu saja. Aku tahu betul apa yang sudah aku lakukan.
Akulah penyebabnya.
Dalam sebulan ini aku banyak menggunakan internet di rumah. Aku cuek dan tidak mau mengerti berapa banyak biaya yang akan dikeluarkan untuk kesenanganku belaka. Dasar egois. Aku bersenang-senang dan tagihannya pun membengkak. Celaka besar. Belum pernah tagihan telepon kami bisa melompat tinggi seperti itu. Dan kejadian hari ini seperti bom atom yang menghantam sikap cuek ku. *bummm...*
Mereka bertengkar hebat hari ini. Ayah marah dan merusak semua roti dan kue yang ibu buat untuk dijual di toko. Mereka bertengkar mulut. Saling menyalahkan. Ibu tidak tahan. Lalu dia pergi.
Kenapa harus saling menyalahkan? Marahi saja aku.
Akulah penyebabnya.
Seandainya aku bisa mengendalikan keinginanku..
Seandainya aku menyadarinya sejak dulu..
Seandainya aku lebih berhikmat lagi..
Dan saat ini aku ditantang.
Berhenti berkata: seandainya...
Dan Oh... berhentilah menutup mata, fan!
hadapi segala resiko!
Lalu apa yang dapat kulakukan? Pertanyaan yang bagus.
Baiklah. Aku sadar aku tidak perlu menjadi pahlawan yang membela ibuku, atau penasehat ayahku.. Whoa.. Tentu saja aku tidak punya kemampuan untuk itu..
Sekalipun aku tidak mempunyai hal yang berarti yang dapat kulakukan untuk membuat mereka berdua baikan. Tapi.... Mungkin.......Aku masih punya langkah awal yang penting untuk masalah ini. Karena ini bermula dari aku. Iya, aku sadar.
Kamu harus minta maaf.
Apa?? Aku ngeri karena kalimat itu tiba-tiba muncul di kepalaku.
Aku harus minta maaf? Tunggu sebentar. Yang benar saja.
Aku tidak pernah melakukannya. Tidak. Dan aku tidak mau melakukannya. Tidaaaaaaaaakkkk,........
Aku tahu aku penakut. Aku tahu aku sungkan sama ayahku. Tidak mungkin.
Kuurungkan niat itu. Dan berkata sudahlah... (tak apa kan? Toh bukan ”seandainya...”)
Tapi Oh, kenapa lagi. Hatiku mendesakku untuk melakukannya.
Kepalaku tak henti memikirkannya. Aku harus bertindak. Untukku dan mereka.
Aku harus minta maaf.
Entah apa yang akan terjadi nantinya.
Aku memilih untuk melakukan bagianku sekarang.
Aku akan minta maaf.
Cemas. Aku bolak balik di belakang ayahku yang sedang menonton TV.
Bagaimana aku harus memulainya?
Aku ragu. Akankah dia menertawakanku?
Rupanya dia menyadari ada yang aneh dengan anak perempuannya.
Dia membalikkan badan dan melihatku yang berdiri dengan gugup.
“Kamu kenapa??” tanyanya heran namun terdengar sekali masih emosi.
“aku...”, aku menguatkan diriku dan mulai berkata,
“fan minta maaf, fan tahu ini kesalahan fan...”
Tiba-tiba air mata mengalir ke pipiku. Perasaanku hancur seketika.
“aku berjanji tidak akan mengulanginya lagi... papa jangan marah mama...” pintaku terisak-isak. Aku tidak sanggup melanjutkannya lagi. Lidahku kelu. Percuma aku menjelaskan. Kata-kataku semakin tidak jelas. Tenggelam karena isakan. Oh aku hanya ingin mereka kembali berbaikan.
Aku tidak dapat melihat raut wajahnya dengan jelas. Penglihatanku kabur karena air mata.
Aku hanya dapat mendengarnya memerintahku untuk pergi keluar membantu di toko.
“Kamu tidak salah,” kalimatnya barusan terngiang-ngiang dikepalaku.
Aku tidak mengerti. Mengapa dia mengatakan kalau ibuku yang menjadi masalahnya. Padahal aku tahu dengan jelas.... ini salahku.
Akulah penyebabnya.
Apapun maksudnya, bagiku hari itu melihat ibu kembali ke rumah, berkomunikasi dengannya dan beraktivitas seperti biasa adalah hal yang menggembirakan. Sekalipun aku mungkin tidak pernah tahu ada apa didalam hati mereka.
Tapi aku tahu betul apa yang telah aku lakukan hari itu, ternyata menunjukkanku pada hal yang tidak pernah aku duga sebelumnya.
“kamu tahu, papa tadi ke toko komputer,”
katanya 2 hari kemudian. ”aku melihat ada yang namanya “webcam”. Itu alat yang dapat kamu gunakannya waktu kamu chatting, sehingga lawan bicaramu bisa melihat wajahmu, dan kamu juga bisa melihatnya.
Bagaimana? Kalau kamu mau, kita akan membelinya.”
Aku terheran-heran. Sungguh. Aku menganga. Apa aku tidak salah dengar? Ayahku yang 2 hari lalu marah besar sekarang berkata seperti itu? Dan aku melihat raut wajahnya yang tidak kusangka-sangka saat dia berkata seperti itu. Hey, dia tersenyum.
“Ah, tidak usahlah pa. Aku tidak memerlukannya.”
Kataku pula sambil tersenyum. Sebenarnya yang ingin kukatakan padanya
”aku hanya ingin menepati janjiku, Pa.”
Aku sadar kenakalanku. Tapi maksud baiknya membuatku terharu.
Aku pikir aku hampir saja ”menghancurkan” keluargaku.
Dan aku tidak menyangka ayahku belum ’kapok’ dengan kenakalanku.
Maksudku. Kalau aku menggunakannya aku bakal membengkakkan tagihan lagi.
Tapi kenapa dia menawarkan hal itu padaku lagi.
Ternyata, dia tidak hanya memaafkanku, dia memberi solusi.
Ayah menyarankanku suatu cara supaya aku bisa menggunakan internet dengan lebih bijak. Tidak hanya itu.
Dia percaya padaku. Dia percaya aku bisa menepati janjiku. Sekalipun aku belum melakukannya.
Aku menghargainya. Dan yang bisa kulakukan adalah tidak membuatnya kecewa untuk kedua kalinya.
Sejak saat itu pertengkaran ’karena’ tagihan telepon tidak pernah terjadi lagi. Ibu bisa membuat roti dan kue dengan tenang. Bahkan dibantu oleh Ayah.
Kamu harus minta maaf.
Aku terbayang. Bila aku tidak melakukan hal kecil tersebut. Mungkin aku tidak pernah melihat kejadian hari ini.
Aku minta maaf.
Aku mungkin tidak mengetahui apa dampaknya waktu aku melakukannya pada hari itu juga. Karena yang kulihat hanya perasaanku yang hancur.
Tapi pesan itu sepertinya diterjemahkan secara lebih kepada ayahku. Entah bagaimana.
Dan ibuku. Dia tahu aku minta maaf pada Ayah. Seseorang memberitahunya.
Aku minta maaf. Itulah langkah awal aku mulai merobohkan dinding keegoisanku dalam hubungan antara aku dengan ayah. Dan aku melihat dinding-dinding itu semakin menipis sekarang. Itulah untuk pertama kalinya dalam hidupku aku mengatakannya kepada ayahku.
Aku minta maaf.
Aku percaya tiga kata itu telah membawa perubahan terhadap komunikasi kami.
tapi dibalik semua itu aku menyadari ada Dia yang memberikan tiga kata itu di lidahku. Menguatkanku saat aku berkata-kata dan yang menerjemahkannya ke hati Ayah dan Ibuku. Dan.... Dia juga yang sedang menerjemahkan tulisanku ke hatimu. Dialah “penyebabnya“.
Aku sungguh bersyukur padaNya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar