“Para penulis dalam buku ini berpandangan bahwa karena Kritus tidak dapat dipisahkan dari kebudayaan maka orang Kristen tidak boleh bersikap acuh tak acuh terhadap keadaan di sekelilingnya. Karena kepada kita diberikan bukan hanya mandat injil tetapi juga mandat budaya.”
Sebenarnya kalimat di atas tadi bukan kata-kata saya melainkan kata ”sampul belakang” buku God and Culture. Sebuah buku yang berisi esai dari para teolog dan praktisi terkenal yang memaparkan kaitan antara Kristus dengan kebudayaan yang dipersembahkan untuk memperingati ulang tahun Carl F.H. Henry yang ke-80. Awalnya Saya tidak membaca kata pengantar buku ini sampai saya menyelesaikan refleksi bab 1 dari buku ini. Batin saya, ”siapa sih Carl F.H. Henry? Apa yang dia lakukan sampai begitu dihormati oleh banyak orang-teolog dan praktisi terkenal?”. Saya cukup tertegun ketika membaca sedikit pengalaman hidupnya yang diceritakan dalam kata pengantar. Selama lebih dari setengah abad, Carl Henry adalah satu dari hanya sedikit pemimpin Injil dalam gaya hidup dan cara berpikir Amerka, dan ia melakukan hal itu di tengah meningkatnya ancaman kebangkitan arus modernisme dan postmodernisme. Carl Henry adalah salah seorang yang pertama-tama mengajak kaum injili kembali kepada visi Agustinus, yang dalam tipologi Niebuhr disebut ”Kristus mengubah Kebudayaan”.
Seiiring dengan berkembangnya zaman, pemahaman injil telah berkembang namun juga harus berhadapan dengan kebudayaan yang tidak hanya menjadi terkotak-kotak, tetpai juga telah kehilangan kontak dengan warisan budaya Yahudi-Kristen. Pemahaman injili sendiri pun telah berubah; tidak hanya menjadi terkotak-kotak, namun juga membantu banyak visi eksklusif mengenai bagaimana Kekristenan harus bersikap terhadap kebudayaan sekitar. Sebuah pertanyaan yang diajukan dalam buku ini akhirnya membuat saya menjadi tergugah dan berpikir kembali: ketika pemahaman injili berusaha mempengaruhi kebudayaan sekitar, seberapa jauh ia sendiri telah dipengaruhi oleh kebudayaan tersebut, sehingga ia rela menukarkan ”warisan anak sulung’ teologia dan Alkitab dengan ’semangkuk kacang merah’ relevansi kebudayaan. Hal ini mengingatkan saya akan gratisnya kasih karunia yang diberikan Tuhan dalam hidup saya ketika Dia memberikan hidup-Nya sebagai tebusan atas dosa-dosa saya, untuk membuat saya-yang pantas dihukum-ini memperoleh kehidupan yang kekal bersama-Nya. Kasih karunia yang ”gratis” tapi bukan murahan.
Ketika hal itu direfleksikan dalam hidup saya, seharusnya saya tidak bisa lagi memandang dunia ini sebegitu remehnya apalagi menjalaninya, walaupun Tuhan sendiri pun ”memberkati” dunia ini supaya bisa dinikmati oleh anak-anakNya-dalam rencana dan tujuanNya-, sungguh saya tidak pantas memberikan harta yang tidak ternilai itu dicampur bahkan ditukar dengan hal-hal yang fana, kebudayaan yang membawa manusia menjadi jauh dengan Allah. Itulah sebabnya mengapa saya perlu memikirkan bagaimana saya harus bersikap di tengah arus kebudayaan masa kini. Mungkin saya tidak bisa mengubah hal-hal yang besar dan sulit bagi saya, tapi saya percaya Tuhan telah memberikan saya kekuatan untuk merubah diri saya lebih dulu. Saya merasa cukup tertolong dengan buku ini yang walaupun tidak dengan secara praktis memberi tahu apa yang harus kita lakukan, tapi buku ini menolong kita memikirkan bagaimana harus bersikap sesuai dengan kebudayaan kita masing-masing nantinya. Tentu saja hanya Allah Roh Kudus yang berkarya di dalam diri kita yang akan memberikan kita segala kelengkapan untuk menghadapi arus kebudayaan masa kini.
Diawali dengan pembahasan mengenai kebudayaan oleh Kevin J. Vanhoozer dalam Bab 1 ”Dunia Dipentaskan dengan Baik? Teologi, Kebudayaan dan Hermeneutika”, Kevin memaparkan keadaan zaman ini mengenai kebudayaan, dimana masyarakat dalam masa kebudayaan modern sekarang ini mempercayai mitos ciptaan sendiri atau setidaknya menganggap mitos tersebut suatu khalayan yang diperlukan, tak menyusahkan dan bernilai pragmatis. Kita harus memilih, percaya bahwa nilai-nilai dan kepercayaan kita yang tertinggi itu benar, atau hanya merupakan suatu khalayan yang berguna. Banyak pemikir kontemporer Barat yang mengatakan bahwa kepercayaan hanyalah hasil dari mitos buatan manusia.
Hilangnya kepercayaan terhadap kemutlakan dan sudut pandang (Allah) yang mutlak membuat para pemikir lebih senang berbicara tentang interpretasi daripada tentang pengetahuan, khususnya pengetahuan yang mutlak. Lebih dari abad sebelumnya, abad ini adalah abad interpretasi. Pandangan yang diterima adalah secara luas adalah bahwa manusia tidak berada dalam posisi mengetahui.
Kevin J. Van Hoozer berpendapat bahwa kebudayaan kontemporer barat adalah kebudayaan yang menempatkan hermeneutika sebagai salah satu nilai tertinggi, melihat situasi postmodern saat ini, interpreatsi yang kreatif diterima sebagai salah satu kebajikan tertinggi.
Saat ini paling dibutuhkan peranan teolog sebagai penafsir dan kritikus kebudayaan kontemporer, sekaligus sebagai pelopor suatu budaya tandingan yang diwujudkan dalam eksistensi gereja. Hanya dengan menafsirkan Kitab Suci -dengan pertolongan Roh Kudus tentunya - kita dapat membangun kebudayaan tandingan yang efektif; dan kebudayaan inilah yang akan menjadi kritik paling efektif terhadap kebudayaan dominan. Pada akhirnya interpretasi terpenting adalah ”penampilan” Alkitab dalam hidup seseorang. Sebagai pemeran dan penafsir kebudayaan, teolog dan umat percaya bertindak sebagai ahli teori dan sekaligus pelaku kebudayaan. Inilah peran yang dipercayakan kepada murid-murid Kristus – yaitu komunitas yang bersekutu untuk ”melakukan” Firman.
Menurut Kevin, kebudayaan merupakan suatu obyektivitas, suatu ekspresi dalam bentuk perkataan dan pekerjaan, dari ”roh” masyarakat yang hidup dalam ruang dan waktu tertentu. Roh atau semangat zaman (Zeitgeist) tidak tampak tetapi selalu diekspresikan dalam bentuk nyata-nyata. Kebudayaan adalah usaha roh manusia untuk mengekspresikan diri dengan cara mewujudkan kepercayaan dan nilai-nilai dalam bentuk-bentuk yang nyata. Menurut Raymond Williams, kebudayaan adalah sistem yang menghasilkan dan mengkomunikasi tatanan sosial melalui berbagai praktek bermakna yang mencakup seni, filsafat, jurnalisme, iklan, mode dsb. Kita berusaha mengekspresikan siapa diri kita dan mengapa kita berharga melalui karya kita: melalui lukisan, monumen, simfoni. Hermeneutika kebudayaan memepelajari bagaimana dan apa arti ekspresi tersebut sebenarnya. Melalui interpretasi kebudayaan kita berusaha menemukan roh dari suatu budaya.
Dalam menginterpretasi kebudayaan, tugas teolog adalah untuk ”berpikir dengan cara pikir Tuhan”. Saya percaya bukan cuma teolog saja tetapi semua umat Tuhan, termasuk mahasiswa yang hidup di dalam kebudayaan, memiliki tugas menginterpretasi kebudayaan.
Pada abad 20 interpretasi kebudayaan Agustinus diwakili oleh teologi Reformed Belanda-Amerika. Dengan mengaplikasikan prinsip-prinsip Calvin mengenai kedaulatan Allah dalam seluruh aspek kehidupan, mengakui bahwa Kristus adalah Tuhan atas kebudayaan. Dunia dan cara pandang kristen harus masuk ke seluruh kebudayaan. Kebudayaan bukan merupakan aktivitas netral non-teologi, melainkan aktvitas yang secara intrinsik bersifat religius. Semua hasil seni pahat, film, novel bangunan dan semua ekspresi kebebasan manusia mempresaposisikan wawasan dunia tertentu, sekumpulan ide dan keyakinan akan realita dan kebaikan tertinggi.
Menurut Kuyper, walaupun Calvin tak memiliki kecenderungan artistik, prinsip teologinya mengenai Ketuhanan Kristus menempatkan seni sebagai anugerah ilahi. Seni bukan imitasi alam belaka, melainkan cara pengungkapkan realita yang lebih tinggi dari dunia kita yang sudah jatuh ini. Seni memungkinkan kita mencicipi penciptaan dan pemulihan keindahan yang sejak semula ada dalam rencana Allah bagi dunia. Jadi seni yang merefleksikan penciptaan dan penebusan adalah seni yang lebih sejati daripada seni yang hanya meniru keadaan sekarang yang sudah jatuh dalam dosa. Nilai-nilai yang terkandung dalam seni pasti bersifat religius; seni membuatan pernyataan teologi.
Apa yang oleh para pemikir lain disebut “semangat” jaman, Dooyeweerd sebut sebagai semangat religius, yaitu semangat yang menerima atau menolak Ketuhanan Allah atas ciptaan dan kebudayaan. Menurutnya, motif dasar Kristen adalah penciptaan-kejatuhan-penebusan. Kejatuhan berarti kebudayaan manusia yang terbaik sekalipun pun hanya “dalam perjalanan”. Penebusan berarti kebudayaan manusia harus secara aktif dan dalam kuasa Roh mengakui hokum Tuhan atas seluruh ciptaan. Dalam skema Dooyeweerd, kebudayaan modern berakar pada motif dasar “alam dan kebebasan” Kant, yaitu motif yang menolak aspek religius dalam hidup dan pikiran kita. Bukannya menyadari otoritas Allah atas semua aspek pemikiran dan kehidupan, kebudayaan modern yang dihidupkan oleh motif dasar religius kebebasan dan alam justru memproklamirkan otonominya. Panggung dunia hanya diisi oleh alam dengan fakta-faktanya di satu sisi dan di sisi lainnya oleh manusia bebas dengan nilai-nilai buatan sendiri. Manusia modern adalah hukum bagi dirinya sendiri. Kebudayaan modern mengekspresilan motif dasar ini.
Para teolog yang disebutkan dalam bab ini percaya bahwa kebudayaan adalah bentuk agama yang dihidupi. Kita mempelajari kepercayaan dan nilai-nilai suatu bangsa dengan cara menafsir karya seni dan bentuk kehidupan bangsa tersebut. ”dari buahnya kita mengenal mereka (Mat 7:20). Kebudayaan adalah buah suatu teologi atau pandangan dunia, sebuah worldview, berasal dari apa yang kita percayai. Dan apa jadinya dengan kebudayaan bila dunia sedang mengumumkan kelumpuhan Tuhan bahkan mati? Akhirnya seperti kata Dostoyevski, jika tidak ada Allah segala sesuatu diperbolehkan.....
Dalam budaya Hermeneutika, berkaitan dengan makna dan teks, Nietzsche maupun Barthez percaya bahwa kita bersifat paling manusiawi ketika menciptakan makna dan nilai kita sendiri. Barthes harus melepaskan istilah pengarang agar dapat mencapai kebebebasan interpretasi total. Menurut Barthes pengarang harus mati agar pembaca dapat hidup. Apa arti hidup? Jika tidak ada Pencipta, tidak ada otoritas, lalu siapa yang memerintah? Jika kita mengabaikan keberadaan makna yang pasti dan interpretasi yang tepat maka segala sesuatu dihalakan dalam interpretasi. Dengan demikian kematian Allah akan menuju kepada mistik Hermes.
Disinilah Postmodern muncul sebagai nama yang diberikan pada budaya hermeneutika saat ini. Untuk dapat menjawab pertanyaan utama mengenai kehidupan, kita harus memiliki ”satu perspektif sejati”, yaitu satu interpretasi yang benar ataas buku kehidupan. Dan inilah yang ditentang oleh kaum postmodern. Postmodern sendiri merasa bahwa manusia modernisme yang merupakan subyek yang bersifat rasional dan menggapai pengetahuan dan kebenaran harus mengakui keterbatasan perspektif pengetahuan manusia. Karena itu kita sendiri harus menginterpretasi karena ketidakjelasan dan pluralitas dalam bahasa dan sejarah manusia. Hal ini mengancam kekristenan karena para tokoh postmodern seperti Don Cuppit, sendiri menganggap bahwa postmodernisme adalah berhenti mempercayai adanya permulaan atau akhir yang mutlak, dasar atau kehadiran yang mutlak. Berakhirnya pandangan mengenai hal yang tetap dan dimulainya era arbiter yang berarti manusia bebas berkreasi: bahayanya bila muncul ”terserah pada kita bagaimana mengimajinasikan Kekristenan atau bagaimana menemuka kembali iman untuk zaman kita.”
Keyakinan Cupitt mengenai kebudayaan justru menuju kepada penihilan kebudayaan itu sendiri, dan dengan terpaksa dia sendiri pun menyimpulkan bahwa tak ada yang layak dilestarikan. Apa pun yang permanen akan menjadi kekangan terhadap kebebasan untuk menciptakan dunia tepian. Budaya hermeneutika adalah kebebasan untuk menjungkirbalikkan segala sesuatu ke segala arah. Pengikut ajaran Hermes akhirnya menjalani hidup yang merupakan permainan interpretasi yang kacau; mereka tidak menyembah dalam Roh atau dalam kebenaran, melainkan dalam kesembarangan suatu karnaval.
Melihat ancaman seperti ini, bagaimana kebudayaan demikian dapat dikritiki atau diperbaharui? Julian Hart meratapi hilangnya suara kenabian gereja: ”Kekristenan populer melaju cepat ke arah homogenisasi yang sempurna Kekristenan populer adalah agama, bukan iman; keceriaan bukan kasih; keinginan bukan pengharapan; pendapat bukan kebenaran.” kritik Kristen terhadap kebudayaan massa harus dimulai di gereja, di rumah orang beriman.
Gereja masa kini justru paling membutuhkan teologi. Teologi harus terlibat dalam rekonstruksi kebudayaan. Dalam reruntuhan zaman ini, interpretasi Alkitabiah merupakan alat terbaik untuk membangun kembali kebudayaan yang pada awalnya memang dibangun di atas Alkitab. Gereja merupakan komunitas hermeneutika, komunitas penafsir yang dibentuk oleh Firman Tuhan dan dihidupkan oleh Roh, yaitu Roh yang memberi kuasa dalam pelayanan Firman dan menjadikannya efektif. Hermeneutika bukan hanya melibatkan penjelasan arti yang tertulis, tetapi juga pendistribusian arti tersebut. makna harus diaplikasikan di dalam gereja, dunia dan diri sendiri. Hermeneutika dalam arti luas tidak hanya berhubungan dengan ”mendengar” tetapi juga melakukan.
Cara hidup kita adalah interpretasi Alkitab yang terpenting. Kita menghidupkan makna sebuah teks ke dalam hdiup kita dnegna cara melaksanakan apa yang tertulis. Sebagai seni dan sains untuk mengaplikasikan dan juga menginterpretasikan teks, Hermeneutika memegang peranan penting dalam pembentukan kebudayaan. Ricoeur menamakannya hidup dalam ”dunia” teks. Jika kita tinggal cukup lama dalam dunia teks, maka nilai dan visi kita akan dibentuk oleh teks itu. Ini juga salah satu dungsi kebudayaan – yaitu dunia makna. Komunitas penafsir Alkitab masuk ke dalam teks oleh ima; Rohlah yang memampukan dunia Firman menumbuhkan gambar Allah yang ada di dalam diri kita. Menghasilkan interpretasi yang setia pada Alkitab adalah tujuan gereja. Hukum interpretasi Alkitab Agustinus dapat diperluas dengan pelaksanaan interpretatif gereja: jika menghadapi terlalu kemungkinan makna, pilihlah interpretasi yang menumbuhkan kasih kepada Tuhan dan pada sesama. Interpretasi ”sejati” Alkitab adalah hidup dalam kasih dan pelayanan pada Tuhan, pada gereja sebagai umat Allah dan pada dunia. Dan kita hanya dapat sungguh-sungguh memahami kisah Tuhan Yesus jika kita mempraktekkannya.
Memperaktekkan kisah Tuhan Yesus membawa kita kepada hidup yang bersifat interpretasi, yang menantang kecenderungan kebudayaan yang dominan. Mendengarkan dan melakukan kisah Yesus menghasilkan gaya hidup yang diwarnai kerendahan, pelayanan dan kasih.
Kevin dalam bab ini memberikan poin penting bagi gereja. Ada dua kriteria yang dapat menolong kita mengetahui komunitas mana yang paling tepat membaca atau melaksanakan Alkitab, yaitu:
1. teks itu sendiri, yaitu titik yang tetap dimana berbagai interpretasi dapat diselidiki. Teks dapat dipakai melawan komunitas penafsiranya, seperti yang Luther lakukan di masa Reformasi.
2. interpretasi atau pelaksanaan teks yang satu dapat terlihat lebih ”berbuah” daripada yang lain. Arti berbuah dalam hermeneutika alkitab berarti pembacaan yang lebih banyak menerangkan teks dan menunjukkan lebih banyak koherensi internal. Kedua, interpretasi dapat juga dianggap berbauh jika menyebarkan kekayaan teks bagi pembacanya. Yesus mengatakan bahwa kita akan mengenal murid-Nya melalui kasih mereka. Bukankah seharusnya kita memilih pembacaan yang menghasilkan cara hidup yang paling mirip hidup Yesus sendiri, sang pemberita Kerajaan Allah? Kehidpan yang benar adalah tanda kehadiran Roh yang menghidupkan Firman. Kebudayaan kristen bukan sekedar alat untuk mengabarkan injil, tetapi sekaligus alat bagi kita untuk mengerti injil dan mengetahui maknanya.
Donald Bloesch berbicara mengenai Allah Pembentuk Peradaban. Menurutnya kebudayaan adalah pemberian ilahi dan pencapaian manusia. Gereja harus berperan sebagai terang bagi negara dan sebagai model pemakaian kebebasan manusia secara benar; greja seharusnya menjadi standar kesempurnaan bagi masyarakat beradab. Komunitas kaum beriman seharusnya mewujudkan kebudayaan kenabian yang menentang para dewa dan mitos zaman ini agar pandangan hidup dan dunia memenuhi kemanusiaan. Gereja harus menjadi inkarnasi budaya dari kasih Allah dalam Kristus. Bloesch menyatakan bahwa gereja tidak boleh menjadi tuan atas kebudayaan sekuler karena ketaatan gereja terhadap kitab Suci juga harus dievaluasi.
Kaum beriman ’membaca’ dunia ini dalam terang Firman Tuhan. Dengan kata lain, gereja menafsirkan dunia dan kebudaayaan sekitarnya melalui kaca mata Allah. Gereja tidak cukup hanya mendengar dan mengerti; gereja harus mencocokkan makna teks dan ’melakukannya’. memahami alkitab dengan benar berarti mentaatinya dalam 2 hal. Pertama, mentaati jika mengerti maknanya. Dalam hal ini mentaati berati melakukan, mempraktekkan. Hermeneutika iman menuntut pemuridan. Iman datang dari mendengar dan membaca Firman., yang berarti dalam hal ini berarti pikiran, khalayan, bahasa dan hidup kita dibentuk oleh alkitab. Berbagai gaya sastra alkitab ini harus membentuk identitias dan praktek kekristenan.
Dunia dalah panggung perbuatan umat Tuhan, bukan rumah mereka. Kebudayaan yang murni injili menerima Injil sebagai sumber kehidupan dan sumber inteligensi, imajinasi dan praktek. Suatu kebudayaan disebut injili jika menerima wahyu Allah dan keselamatan Allah dalam Kristus.
Kebudayaan injili adalah respon eucharistis terhadap karunia kebebasan Kristen. Seperti yang telah kita ketahui, kebudayaan adalah ruang dimana kebebasan memanifestasikan diri. Memupuk kebebasan yang diberikan oleh Roh mungkin merupakan kesempatan istimewa terbesar bagi kita; namun sudah pasti hal itu juga merupakan tanggung jawab terbesar kita. Dalam hal ini lah, tugas penafsiran gereja yang terpenting adalah menghasilkan kebudayaan injili dan echaristic dimana kebebasan Kristen diwujudkan dalam bentuk ketaatan pada Tuhan berorientasi pada kemuliaan Tuhan. Namun, dalam terang Alkitab, kita perlu sadar bahwa kebebasan dalam kebudayaan kontemporer bersifat menyesatkan. Kebebasan yang tidak membawa pada pemenuhan manusiawi dan justru membawa pada keputusasaan sama sekali, bukan kebebasan.
Kita yang tinggal di dunia ini tidak mempunyai pengetahuan absolut maupun kebaikan mutlak; dengan demikian hermeneutika merupakan tugas kita bersama sebagai manusia, hak istimewa dan sekaligus tanggung jawab kita. Interpretasi dan pelaksanaan orang berdosa maupun orang kudus pasti dan selalu tidak cukup baik. Tetapi melalui Kristus kebudayaan baru telah memasuki dunia, yaitu kebudayaan yang ditimbulkan oleh Firman Tuhan dan ditumbuhkan oleh Roh yang mampu menyembuhkan kemanusiaan.
Hal-hal di atas inilah yang membuat saya kembali berpikir dan menggugah hati saya untuk lebih mempelajari mengenai kebudayaan. Perlu saya sadari saya belum bisa dengan baik mencerna apa yang saya baca, karena sebatas hal tersebut hanya memberikan saya pengalaman dan pengetahuan. Tapi apa yang saya baca barusan membantu saya ketika berhadapan dengan topik-topik lainnya dalam buku ini, pada bab-bab selanjutnya.
Topik mengenai sastra di dalam buku ditulis oleh Leland Ryken. Sastra sebagai salah satu perwujudan dari kebudayaan, dari masa ke masa telah menjadi hal yang dikesampingkan oleh gereja. Sastra tidak pernah dianggap sebagai hal yang begitu krusial bagi kebanyakan orang awam dan gerejawan, atau bahkan bagi kebanyakan kaum intelektual kristen. Menyadari hal ini, sebagai bagian dari universitas Kristen Petra, saya merasa kita sebagai kaum intelektual yang sedang dibentuk bukan hanya intelektual namun iman yang semakin bersungguh-sungguh pada Allah seharusnya memiliki beban, khususnya kita yang dipanggil untuk berkarya di dalam dunia sastra. Ketika kita melihat sastra kurang diperhatikan oleh komunitas orang beriman dalam rumah Tuhan, kita sebagai bagian dari tubuh Kristus juga perlu berjuang untuk kebenaran yang satu ini.
Konsep awal mengenai sastra Kristen diawali dengan membiarkan sastra tetap menjadi sastra. Seperti aspek-aspek ciptaan Allah yang lain, sastra juga memiliki integritasnya sendiri. Dan yang menjadi ciri sastra yang pertama sekali adalah kata-kata, bukan ide-ide seperti yang dikira oleh banyak orang Kristen mengenai sastra. Sikap hormat yang layak terhadap bahasa merupakan prasyarat untuk menghasilkan dan memahami sastra, dan Kekristenan sendiri menodorong kita ke arah sikap hormat itu.
Satu hal yang ternyata baru saya sadari ketika membaca buku ini, adalah teori-teori sastra menunjuk pada wawasan dunia yang lebih luas. Wawasan dunia Kristen menurut Ryken menyatakan suatu tatanan yang bermakna bagi alam semesta dan bagi kemampuan manusia untuk memahami dan mengkomunikasikan makna tersebut dalam bahasa, bagaimanapun tidak sempurnanya. Tentu saja, kejatuhan manusia ke dalam dosa juga mempengaruhi bahasa dan berbagai perubahan penafsiran tetap merupakan satu fakta penafsiran sastra dalam Alkitab. Namun hal ini berbeda dengan sikap skeptis total terhadap kemampuan bahasa untuk mengkomunikasikan makna yang terpahami.
Langkah awal untuk menjadikan sastra tetap menjadi sastra dapat menjadi hambatan yang lebih besar di antara orang-orang Kristen karena hal ini merupakan suatu keyakinan yang naif bahwa sastra merupakan suatu penerjemah langsung dari realita. Sastra selalu mengandung jarak seni dan imajinasi, suatu ciri yang diakui teori sastra klasik yang memandang sastra sebagai suatu imitasi (mimesis) kehidupan. Dunia sastra merupakan satu bangunan imajinas, yang melekat pada kaidah sampai taraf tertentu tidak pernah mirip dengan kehidupan dan sering kali bersifat begitu fantastik. Sastra juga menonjolkan pengalaman yang melampaui apa yang kita dapatkan dalam kehidupan nyata.
Konsep ini membuat saya cukup takut mengenai imajinasi dalam berkarya. Sebatas apakah kita sebagai orang percaya bisa berimajinasi. Walaupun saya juga melihat mahakarya dari sastrawan dunia sekaligus teolog yang telah menghasilkan karya yang mengagumkan tidak hanya bagi komunitas orang percaya namun juga bagi dunia, seperti C.S. Lewis dan J.R.R. Tolkien. Dalam buku ini dengan tegas dikatakan bahwa walaupun sastra merupakan dunia rekaan tapi mengingatkan kita akan kehidupan nyata dan menjelaskannya bagi kita. Samuel Johnson mencatat bahwa imitasi sastra ”jangan dikacaukan dengan realita tetapi.. mengingatkan kita kepada realita-realita tersebut.”. Northrop Frye juga mengklaim bahwa ”konstruksi imajinasi membeitahu kita hal-hal yang tentang kehidupan manusia yang tak bisa kita dapatkan melalui cara lain.”
Disinilah saya memahami bahwa sastra kristen adalah suatu sikap hormat kepada kemampuan imajinasi untuk memberikan bentuk bagi kebenaran – bahkan imajinasi yang fantastik, seperti yang dilakukan oleh kedua pengarang buku di atas. Biografi, sejarah, surat kabar menjelaskan mengenai apa yang telah tejadi, sementara sastra menjelaskan apa yang sedang terjadi, dan keduanya merupakan bentuk kebenaran. Francis Schaffer pernah menulis bahwa ”Para seniman Kristen tak perlu merasa terancam oleh fantasi dan imajinasi.
Alkitab yang merupakan sentral untuk merumuskan suatu pendekatan sastra Kristen, juga mengekspresikan kebenaran dengan cara kisah, puisi, dan penglihatan – yang semuanya merupakan bentuk-bentuk sastra dan produk imajinasi (walaupun tidak berati merupakan imajinasi fiktif).
Saya tertarik dengan quotes dari Abraham Kuyper, ”sebagai penyandang gambar Allah, manusia memiliki kemungkinan untuk menciptakan sesuatu yang indah dan untuk menikmatinya.”
Itulah natur dalam diri manusia. Saya menyadari ketika Allah memberikan manusia kemampuan berimajinasi pun untuk hal yang baik, memberitakan keagungan dan untuk hal yang benar, namun ketika manusia jatuh dalam dosa, benih jahat itu tinggal dan menjadi natur yang jahat dan mencemari imajinasi kita. Iblis menipu dan membawa kita menuju kebinasaan dengan menggunakan imajinasi kita. Apalagi hidup dalam zaman kebudayaan yang mengagungkan interpretasi, setiap orang bebas berkreasi, termasuk bebas berpikir, bebas menginterpretasi, bebas berimajinasi. Dunia semakin sarat dengan tipuan iblis tapi bagaimana kita yang telah dibangkitkan oleh kuasa Allah peka dan berjuang melawan situasi ini.
Kita tidak bisa melupakan bahwa sastra tidak selamanya diukur dengan manfaat. Karena jika demikian, berarti kita tidak memperhatikan alasan mengapa orang pertama-tama sekali harus menghampiri sastra. Suatu pendekatan sastra Kristen seharusnya tidak merendahkan atau mengabaikan bentuk sastra demi mempertimbangkan isinya, melainkan juga harus membela kreativitas manusia, keindahan, dan kesenangan. Hal ini bisa dilihat ketika Allah menciptakan alam semesta, bumi dan isinya.
Allah sendiri merupakan Pencipta, dan dunia yang Ia ciptakan ini bersifat utilitarian dan sekaligus indah. Allah yang kreatif ini membuat umat-Nya sesuai dengan gambar-Nya, memiliki kapasitas untuk kreatif dan membuat keindahan. Dan setelah Allah menciptakan sesuatu, dia selalu mengatakan bahwa hal itu sangat baik, menunjukkan kepuasan dari Allah yang menikmati apa yang Dia ciptakan.
Ketika Allah memberikan mandat bagi manusia untuk mengusahakan bumi ini, saya percaya di dalamnya juga termasuk mandat kebudayaan, ketika Allah lebih dulu memperlihatkan keindahan yang tidak tercemar kepada manusia pertama, Dia ingin mereka dapat menikmati karyanya (Kej 2:9) dan terus meneruskan karya penciptaan yang didelegasikan. Allah tidak bermain-main ketika Dia mengatakan kepada manusia ”berkuasalah”, di dalamnya pasti terkandung makna yang mendalam. Apa yang kita lakukan untuk meneruskan karya penciptaan yang diidelegasikan itu seharusnya terus membuat kita menikmati akan ciptaanNya, mengingat kebesaranNya dan semakin mencintai Dia.
Kita memiliki natur untuk memiliki sesuatu yang indah dan tidak pernah kita sembunyikan, tapi kita juga ingin agar orang lain dapat menikmatinya. Karena hidup ini berbicara mengenai Allah, berarti kita harus sadar bahwa ketika kita memperlihatkan keindahan, yang kita tampilkan adalah supaya dinikmati Pengalaman indah yang kita miliki bersama Allah tidak hanya untuk dinikmati sendiri, tapi akan secara otomotis membuat kita menyaksikannya kepada orang lain. supaya membuat Allah makin dicintai. Allah yang kita cintai juga dicintai oleh orang lain.
Allah menciptakan kita sebagai manusia yang tidak hanya memiliki rasio, akal budi tapi juga emosi, perasaan, jiwa, dan hal-hal tersebut tidak selamanya dapat dijawab dengan kegunaan praktis.
Allah telah lebih dulu menciptakan sebuah ruang kosong dalam hati kita supaya hal itu yang hanya dapat diisi oleh pengalaman keindahan bersama Allah, yang membuat seluruh diri kita merasa dipuaskan, hanya di dalam hadiratNya kita dipuaskan.
Keindahan dalam buku ini juga menyadarkan saya bahwa banyak hal yang bisa saya lihat saya alami merupakan pengalaman keindahan. Pertama dalam penyembahan, kemudian keindahan dalam desain dan keterampilan, berkat di dalam nama Allah yang dinyatakan oleh imam besar saat ia keluar dari ruang maha kudus di Hari Pendamaian, dan pengalaman keindahan tertinggi adalah keindahan Allah yang dinyatakan dalam anugerah salib karena membuka satu sukacita yang melampaui semua estetik lainnya seperti fajar melampaui kegelapan yang dikalahkannya.
Hal ini juga dapat dilihat dari para penulis Alkitab yang tidak hanya menganggap bahwa pesan Alkitab merupakan satu-satunya hal yang penting, karena dengan demikian apa perlunya para penulis puisi di Alkitab menuangkan ucapan-ucapan mereka dalam bentuk puisi yang berpola begitu rumit atau untuk apakah para penutur kisah alkitab menyusun kisah-kisahnya dengan begitu ringkas dan terdesain rapi. Dalam pengaturan Allah, para penulis alkitab memakai waktu dan kemampuan mereka untuk menjadi artistik bagi kemuliaan Allah. Penulis pengkhotbah berbicara mewakili para pneulis alkitab lain dan juga bagi dirinya sendiri ketika ia memberitahu kita bahwa ia menyusun bahannya dengan sangat cerman dan ”berusaha mendapat kata-kata yang menyenangkan” (Pkh. 12:9-10).
Saya tertarik dengan tugas penulis seperti yang diterangkan oleh Joseph Conrad ”Tugas saya... adalah memakai kekuatan tulisan untuk membuat Anda mendengar, membuat anda merasakan, dan di atas segalanya membuat anda melihat.” sebagai penulis kecil, penulis yang diberi kuasa oleh Sang Desainer Agung alangkah indahnya ketika apa yang kita hasilkan entah dalam tulisan maupun lukisan membuat orang lain dapat melihat kebesaran Allah dalam hidup ini, walaupun tidak semudah itu kita dapat menyampaikannya kepada dunia ini.
Hidup di zaman penuh interpretasi ini memang mengancam kebenaran. Ketika sastra maupun lukisan diinterpretasikan oleh masing-masing orang, pengaruh yang dapat mereka terima pun berbeda-beda. Semuanya hanya dikatakan kembali pada pribadi masing-masing. Bahayanya, dasar untuk mengambil keputusan apakah hal ini benar atau tidak-berguna atau tidak adalah dengan melihat bahwa hal itu juga disepakati oleh banyak orang (mayoritas). Hal ini menjadi tuntutan bagi umat percaya bagaimana tetap mempertahankan kebenaran mutlak sekalipun menjadi kaum minoritas.
Tapi untuk itulah kita Tuhan yang Maha Baik bersedia menjadi ”mentor” terbaik sepanjang sejarah, Bapa yang kekal di dalam kejayaan anugerah-Nya membawa kita kepada satu visi akan dunia sebagai teater penebusan-Nya. Di dalam dunia seni, atau yang saya katakan desain karena tidak terlepas dari seni adalah untuk memuliakan Allah. Sebagai pelayan Allah, di dalam seni kita menanggapi Allah dan sesama. Seni bersifat melayani. Meskipun seni merefleksikan satu aspek yang tersendiri dari pengalaman manusia, tetapi seni bukan untuk dirinya sendiri. Karena sumber estetika adalah Allah, seni adalah demi Allah.
Mengetahui hal ini bagi saya tidaklah cukup karena walau bagaimanapun juga, sebagai orang percaya, ada mandat yang harus kita kerjakan, dan apa yang harus kita lakukan dengan kebenaran tersebut? Apa yang akan kita lakukan pada dunia yang semakin bobrok ini? Seplegmatisnya saya, saya tidak bisa berdiam diri melihat ketidakbenaran merajelela di masyarakat. Sebagai mahasiswa yang sedang belajar mengenai media, saya menyadari bahwa media merupakan alat yang dapat membawa manfaat postif, mulia, bahkan sampai ke hal yang negatif, menjijikkan.
Sama seperti yang diungkapkan oleh Larry W.Polland mengenai Orang Kristen dan Media, kita perlu membangun ”industri media Kristen” untuk memakai kekuatan teknologi bagi tujuan-tujuan kerajaan dan bersain dengan struktur kekuatan media sekuler dengan motivasi dan produk-produk yang bersifat menebus. Sejumlah estimasi menunjukkan bahwa semua televisi Kristen hanya menjangkau kurang dari 4% jumlah penonton televisi di Amerika dan inipun sebagian besar berasal dari kelompok Kristen saja. Cara yang lain adalah dengan mobilisasi doa khusus bagi para pemimpin media, penginjilan kepada para profesional media pada setiap tingkat pengaruh media, pemuridan terhadap para profesional Kristen di dunia media guna memperlengkapi mereka dengan kesaksian yang lebih kuar dan penggunaan keahlian media mereka dengan lebih bersifat menebus; jaringkan kerja,dukungan dan mobilisasi orang-orang percaya yang berkomitmen di dalam media untuk memebrikan dampak rohani yang signifikan; dan penetrasi ke dalam struktur kekuatan media melalui para profesional Kristen yang terlatih dan berkomitmen.
Ketika saya kembali mengingat begitu mengancamnya dunia sekarang ini, karena sekali lagi budaya interpretasi, postmodernisme, dimana kebenaran diukur oleh mayoritas, saya begitu takut dan menyesal. Takut, bila pada akhirnya media akan banyak mencuri kebenaran, dan menuntut banyak orang menjauh dari Allah, menyesal karena gereja sebagai tubuh Kristus, termasuk di dalamnya kaum intelektual Kristen seharusnya peka dengan masalah seperti ini, bukannya menyibukkan diri dengan saling menuding satu dengan yang lain. Yang saya sesali karena gereja kurang mempersiapkan generasi muda yang akan menghadapi peperangan ini. Saya sangat setuju bila kita sebagai generasi muda selalu diberikan penguatan dalam iman kami dalam Kristus tapi itu tidak cukup jika kami tidak dibantu untuk melihat realita yang sedang terjadi, maksudnya apalah gunanya semua yang kami punya, yang kami kerjakan tidak sama sekali tidak menyentuh kebutuhan zaman. Pesan-pesan yang disampaikan hanyalah pesan-pesan injil, umum. Seharusnya hal ini pun diimbangi dengan pemuridan.
Saya menyadari hal ini pun disebabkan karena generasi muda sendiri masih sarat dengan perilaku yang bebas, kurang bertanggung jawab dan lebih menyedihkan lagi adalah tidak serius. Tidak serius dengan panggilan mereka apa lagi. Akhirnya mereka hanya berputar-putar di area yang sama, pergulatan dengan dosa-dosa lama yang tidak pernah selesai. Bukan itu saja tapi bagaimana kita memanfaatkan waktu yang ada. Firman Tuhan berkata Efesus 5:17 ”Sebab itu janganlah kamu bodoh, tetapi usahakanlah supaya kamu mengerti kehendak Tuhan”. Waktu yang diberikan Tuhan kepada kita harusnya digunakan dengan bijaksana. Dalam buku ini, J.I. Packer menguraikan kebenaran Alkitab mengenai penggunaan waktu, khususnya waktu luang sebagai berikut: (1) tugas istirahat yang banyak dibahas dalam kitab kejadian maupun keluaran, (2) Kebaikan kesenangan (Pkh 8:15), (3) kebenaran perayaan. Dalam seluruh alkitab, meja perjamuan merupakan lambang dan tempat penyegaran, berupa persekutuan dalam perayaan dan (4) Kenyataan Penatalayanan. Kita adalah pengelola waktu, kemampuan dan talenta serta kesempatan yang Tuhan berikat, pengurus tubuh kita dan dunia ini. Sebagai orang percaya kita tidak boleh membiarkan hal-hal yang biasa-biasa saja menghalangi hal-hal yang baik dalam aktivitas wkatu luang juga tidak boleh membiarkan hal-hal yang baik menghalangi hal-hal yang terbaik. Inilah gaya hidup uyang seharusnya dimiliki oleh murid, disiplin.
Namun demikian, kita tidak bisa melupakan bahwa yang menjangkau jiwa adalah melalui kesaksian penuh kasih dan pribadi akan Injil Kristus. Itulah semangatnya. Saya pribadi rindu bertemu dengan komunitas seperti ini, rindu bertemu dengan orang-orang yang tidak hanya memikirkan apa yang sedang dilakukan sekarang, namun juga apa yang akan dilakukan ke depan menanggapi visi yang Tuhan berikan pada-Nya, bukan lagi dengan semangat yang naik-turun tapi konsisten dan penuh keseriusan. Walaupun saya tahu bahwa saya pun terus berusaha untuk konsisten, tapi saya percaya semua bermula dari tekad dan menghargai kasih karunia Allah yang gratis, tapi bukan murahan.
ini refleksi pa merangkum yaaa??
BalasHapuskalau liat hasil refleksinya seperti merangkum..
peace ^^
huahaha... abis rangkum trus refleksi.. itu soalnya udah terlanjur, belakangan baru sadar bikin refleksi.. wkwkwk... kamzia don..
BalasHapus