ini adalah karya tulis yang saya buat sebagai tugas kuliah saya..
Konon, menurut Tom Reichert, seorang profesor komunikasi dan periklanan dari Amerika Serikat, upaya para pemasar di Barat untuk menjual produk dengan ”memanfaatkan” imaji-imaji seksual, sudah dilakukan sejak tahun 1850-an. Di Indonesia sendiri hal ini mulai dipraktekkan pada banyak iklan di sekeliling mulai dari produknya yang memang dekat dengan perkara seks, seperti kondom dan obat kuat, hingga iklan untuk prduk ”biasa” seperti pelembut cucian. Seperti kata Budiman Hakim, creative director dari biro iklan MACS 909 kepada Cakram, ”lagipula seks kan memang menjual. Itu suatu kenyataan yang nggak bisa dibantah. Buktinya blue film tetap up to date sampai sekarang dan sampai kapan pun.”
Kenapa seks menjual, karena seks menjadi sesuatu yang disukai oleh semua orang. Pria dan perempuan sama-sama menyukainya. Mengapa muncul nuansa sensualitas, seks, dan erotisme dalam iklan, hal ini tidak bisa terlepas dari para penikmat iklan, dan siapa yang terlibat dalam pembuatan iklan. Ironisnya, kaum perempuan sering dikaitkan dengan sensualitas, karena yang paling menarik untuk dilihat dan dibayangkan adalah perempuan. Pertanyaan selanjutnya yang perlu diajukan bagaimana respon dari kebudayaan sekarang dalam menyikapi hal tersebut. Seperti yang dikatakan oleh Raymond Williams, kebudayaan adalah sistem yang menghasilkan dan mengkomunikasi tatanan sosial melalui berbagai praktek bermakna yang mencakup seni, filsafat, jurnalisme, iklan, mode dsb. Oleh sebab itu dalam melihat apa yang sedang terjadi dalam sebuah iklan, tidak terlepas dari kebudayaan yang mempengaruhinya.
BUDAYA PATRIARKAT
Penulis menemukan bahwa dalam kaitan dengan seksualitas perempuan, budaya patriarkat memiliki pengaruh yang cukup signifikan setidaknya sampai saat ini terus mempengaruhi cara pandang perempuan dalam memandang hidupnya.
Di dalam budaya patriarkat, ikatan biologis semakin dibekukan dalam nilai-nilai yang menempatkan perempuan sebagai obyek seks laki-laki. Perempuan pertama-tama bernilai karena seksualitasnya. Perempuan hampir selalu dikaitkan dengan seks. Budaya patriarkat menempatkan perempuan sebagai sosok inferior dan dalam hubungan intim antara laki-laki dan perempuan, ia dikategorikan sebagai pelayan yang memenuhi kewajibannya kepada laki-laki dan demi kelangsungan spesies manusia. Dikatakan bahwa seorang isti harus selalu siap melayani hasrat sesksual suaminya karena hasrat seksual laki-laki seringh kali memang tak tertahankan. Dan itulah yang wajar.
Hak perempuan akan kenikmatan seksual tidak pernah diperhitungkan oleh budaya patriarkat, karena memiliki rahim, perempuan harus melahirkan agar suami memiliki penerus yang melanjutkan namanya. Istri harus memikat agar suami tidak melihat perempuan lain. Hal yang sebaliknya tidak pernah diucapkan untuk laki-laki. Dengan menguasai tubuh perempuan, laki-laki sekaligus menguasai kehidupan perempuan.
Situasi Perempuan Masa kini
Nostradamus meramalkan abad milenium ini sebagai milik perempuan. Nostradamus mungkin benar. Kenyataanya, kita melihat perempuan mulai diperhitungkan. Ketika Megawati Soekarnoputri menjadi presiden perempuan pertama di Indonesia, surat kabar juga menampilkan tokoh-tokoh politik perempuan lainnya yang menjadi orang nomor satu di panggung politik dunia. Semua orang mengatakan bahwa sekarang perempuan bisa melakukan apa saja yang seperti yang dilakukan oleh laki-laki.
Sampai saat ini, perempuan masih terbelenggu oleh tubuhnya. Jika bukan oleh nilai-nilai patriarkat yang masih membayangi, kekuatan pasar bebaslah yang melakukannya melalui iklan yang menampilkan citra perempuan modern sebagai perempuan yang langsing, putih, berambut hitam panjnag dengan seperangkat alat kecantikan.
Shirley Lie, melihat kasus pornografi semakin mengukuhkan jurang yang lebar antara laki-laki dan perempuan. Pornografi menunjukkan ketidakmampuan laki-laki untuk berelasi secara dialogis dengan perempuan, bahkan dalam hubungan yang paling personal dan intim sifatnya. Dalam pornografi, laki-laki berelasi dengan perempuan imajinernya, bukan dengan perempuan real. Bahkan sering kali perempuan real didesak untuk memenuhi imajinasi seksualnya.
Maraknya pornografi menunjukkan kekuatan nilai patriarkat yang menempatkan kejantanan dan dorongan seksual laki-laki sebagai superior itu tidak bisa dibendung, dan harus terus-menerus dicari pemenuhannya.
Perempuan juga menghadapi tantangan yang tak kalah dahsyat kekuatannya dibandingkan dengan nilai-nilai patriarkat, yiatu kekuatan pasar bebas yang memanfaatkan kegamangan perempuan dalam menjalankan kebebasannya di hadapan nilai-nilaiyang penuh kontradiksi sebagai peluang untuk mengeruk uang.
Kegamangan ini paling jelas terlihat dalam cara perempuan menilai dan menghayati kecantikan diri. Setelah berabad-abad terbiasa untuk tampil vantik demi mata yang memandangnya, menurut selera laki-laki dan masyrakat. Hal ini mendorong perempuan semakin terobsesi dengan tubuhnya. Rasanya perempuan selalu merasa ada yang kurang dengan tubuhnya. Di satu sisi, bisnis suntik silikon untuk memperbesar payudara, meontokkan pipi, atau menggemukkan bibir agar keligarab sesksi adalah contoh nyata keberhasilan pasar bebas menjual citra seksi dan cantik yang ”katanya” disukai laki-laki. Begitu pengobjekan ini sehingga perempuan hanya mengenal seksualitasnya sebagai satu-satunya media untuk berkomunikasi dengan dunia.
BANGKITNYA FEMINISME
Bangkitnya Feminisme, di lain pihak memberikan hal yang baik, di lain sisi tidak: karena memunculkan pemikiran yang baru mengenai erotisme, seksualitas perempuan sebagai hak untuk menikmati seksualitas dalam gaya apapun. Temasuk prakteknya dalam iklan. Perseteruan kelompok feminis tentang pornografi memuncak pada tahun 1982 dalam konferensi Barnard College tentang seksualitas perempuan. Kelompok lesbian, biseksual, pekerja keras, para model porno, penari eksotis, dan kelompok perempuan liberal bersikukuh bahwa hak menikmati seksual perempuan harus dihormati dalam gaya apa pun (lembut ataupun keras) dan tidak dapat dikatakan melanggar hukum. Sedangkan kelompok yang beroposisi tetap mempertahankan bahwa pornografi dalam bentuk apapun merendahkan perempuan. Konferensi terpaksa diakhiri sebelum jadwal yang telah direncanakan karena tidak ada kata sepakat.
Budaya Pop merupakan contoh konkret dimana para perempuan muda memperlihatkan cara pandang seksualitas mereka yang berbeda. Pengeksposan tubuh tidak lagi dianggap sebagai hal yang melecehkan, namun dilihat sebagai permainan di mana tubuh bagi mereka bukan sesuatu yang esensialis, namun hanya sebagai representasi. Oleh sebab itu, perempuan dalam budaya pop menawarkan bentuk ideologi feminis yang baru dimana ide representasi non esensial ini mempolarisasikan keutuhan perempuan. Contoh yang seirng disuguhkan adalah Madonna. Madonna digambarkan sebagai perempuan muda yang mencari kebebasan makna seksualitasnya lewat pengeksposan tubuhnya yang menantang. Namun ia juga menegaskan pengontrolan penuh atas tubuhnya di mana penonton tidak melihatnya untuk dilecehkan, tetapi justru untuk dikagumi. Para feminis terpecah menjadi dua kubu, mereka yang mendukung buka-buka pada dan dada Madonna dan mereka yang mengecamnya sebagai pelecahan terhadap kaum perempuan.
Kelompok feminis Radikal-Libertarian adalah kelompok yang pertama kali mengemukakan keberatannya atas advokasi antipornografi. Kelompok ini merasa bahwa gerakan anti pornografi adalah gerakan yang munafik yang justru mengikuti norma-norma yang telah digariskan oleh laki-laki. Mereka menuduh kelompok gerakan antipornografi sebagai gerakan yang didominasi oleh perempuan-perempuan yang ingin didefinisikan sebagai ”perempuan baik-baik” oleh masyrakatnya. Perempuan jenis ini adalah perempuan-perempuan yang mengangungkan ”kesucian” dan perempuan yang tidak peduli dengan hak orgasme perempuan.
Kelompok Radikal-Libertarian berkeyakinan bahwa perempuan harus dapat merebut kembali kontrol seksualitasnya dan merepresentasikan sesksualitas perempuan yang tidak terepresi, artinya berani mengeksplorasi kesenangan seksualitas perempuan. Kelompok ini menetapkan bahwa tidak ada salahnya bagi seorang perempuan untuk berani membayangkan fantasi seksual mereka sefantastis-fantastisnya. Segala bentuk permainan seks di dalam literatur seks bukan berarti akan dilakukan oleh perempuan dalam kehidupan sehari-harinya. Namun imajinasi seks yang liar memang dapat membuat perempuan ”ringan” dari beban masyarakat yang selalu menuntutnya untuk menjadi istri yang baik, ibu yang baik dan perempuan yang sempurna.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar